Rabu, 01 September 2010

ketika banjir membawa berkah

Ketika Banjir Membawa Berkah

Oleh Aang Kusmawan



Halaman rumah berdinding tembok itu terlihat becek. Disisi kanan rumah tersebut terlihat air masih menggenang. Begitu juga di sisi kiri, sisa-sisa lumpur sungai masih terlihat berceceran. Di atas tanah becek itu beberapa kursi di susun satu baris. Suasana cukup sunyi.  Itulah kondisi rumah bapak Dayat (55), salah satu penduduk di desa Leuwi Bandung kecamatan Dayeuh kolot yang rumahnya terkena luapan banjir dari sungai Citarum.

Siapa nyana, di rumah tersebut malam itu akan dilangsungkan sebuah acara sakral, yaitu pernikahan antara Cecep Yusup Maulana (42) dengan Nurhasanah (27), putrii pertama dari bapak Dayat.

Wa Cecep, begitu orang-orang disekelilingnnya memanggil, adalah kordinator Baraya Bandung, sebuah paguyuban yang berkonsentrasi pada kebencanaan. “ untuk saat ini fokus program Baraya Bandung lebih terkonsentrasi pada wilayah evakuasi korban banjir serta advokasi korban banjir Citarum kabupaten Bandung. Untuk kedepanya kami akan bergerak lebih dari itu, tapi tetap akan terfokus pada wilayah kebencanaan” begitu ungkap Wa Cecep ketika ditanya mengenai fokus program Baraya Bandung.
 
           
Jauh sebelum terjun menangani banjir, Wa Cecep, pria jabrig asli kota Bandung yang berpenampilan kalem itu telah terjun kedalam aktifitas kebencanaan dan pelestarian alam. Diawali pada tahun 2009, Wa Cecep bersama organisasi Godong Sewu sebuah organisasi  pelestarian alam terjun melakukan penghijauan di gunung-gunung yang rusak di wilayah Jawa barat. Gunung Ciremai di kabupaten Kuningan, Gunung Cikurai dan Cakra Buana di Kabupaten Garut merupakan gunung yang pernah dihijaukan bersama kawan-kawanya. Aktifitasnya bersama Godong Sewu t berlansgung sampai tahun 2001.

Tampaknya kerusakan alam selalu memanggil Wa Cecep untuk terus berhubungan dengan  alam yang semakin rusak. Bersama Satuan Tugas (SATGAS) salah satu partai politik ia kembali terjun ke alam. Kali ini aktivitasnya lebih terfokus pada penannggulangan korban bencana alam.

Dari tahun 2004, pria kalem ini mulai keliling Indonesia untuk melakukan evakuasi korban bencana alam. Gempa di pulau Nias, longsoran tanah di kabupaten Ende Sulawesi Barat, gempa Jogya, gempa Padang,Tsunami Pangandaran dan Aceh merupakan wilayah yang pernah dinjaknya.Karena satu dan lain hal, pada tahun 2006 Wa Cecep menarik dirinya dari satgas partai tersebut.

Langkahnya dalam melestarikan dan mengendalikan alam  kembali bersama Godong Sewu. Kali ini wilayah yang dihijaukanya adalah daerah di kabupaten Bandung dan kabupaten Sumedang. Gunung Parigi dan Gunung Tampomas merupakan gunung-gunung yang pernah dihijaukanya.

Di antara tahun 2006-2007 aktifitasnya dalam kebencanaan bisa dikatakan mencapai titik terjauh. Bersama beberapa relawan dari beberapa daerah di Indonesia berangkat ke Thailand. Di sana mereka mengevakuasi warga Phuket yang terkena bencana.
Tak ayal lagi pengalamannya yang malang melintang dalam dunia kebencanaan menyebabkan keahlianya dalam bidang kebencanaan tidak lagi diragukan. Dengan pengalamannya tersebut, Wa Cecep bisa dikatakan menjadi seorang ahli evakuasi bencana. Berdasar atas hal itulah kemudian kisah Wa Cecep dalam kebencanaan berlanjut.

Adalah Abdi Merah putih sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga bergerak dalam bidang kebencanaan “mengontrak: dia untuk menjadi tenaga ahli mitigasi. Akan tetapi di lembaga tersebut Wa Cecep tidak menemukan kenyamanan dalam bekerja, sehingga akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari lembaga tersebut. Tidak banyak cerita yang ia torehkan di lembaga tersebut.

Bak gayung bersambut, ketika proses pengunduran dari lembaga tersebut berlangsung terjadilah gempa yang menimpa sebagian besar wilaya Jawa barat. Salah satu daerah yang terkena banjir adalah Pangalengan, sebuah kecamatan di Bandung selatan.

Berbekal kemampuanya dalam mitigasi dan evakuasi bencana, Wa Cecep kembali turun tangan. Mitigasi dan evakuasi bencana korban gempa kembali menjadi aktivitas sehari-harinya. Agak berbeda dengan cerita sebelumnya, kali ini pekerjaanya tidak sekedar melakukan mitigasi dan evakuasi saja, akan tetapi lebih jauhnya lagi. Kali ini pekerjaanya sampai pada tahap advokasi pencairan dana pengganti kerusakan gempa dari pemerintah.

Bersama elemen-elemen masyarakat sipil Wa Cecep memprakarsai lahirnya sebuah kelompok kerja advokasi korban gempa kabupaten bandung. Solidaritas Masyarakat Korban Gempa (SMKG) nama lembaga tersebut. Melalui SMKG, Wa Cecep berhasil mendorong pemerintah kabupaten Bandung untuk sesegera mungkin mencairkan dana pengganti kerusakan masyarakat.

Perjalanan hidup aktivis yang satu ini sepertinya ditakdirkan untuk tidak berjarak dengan bencana alam. Belum juga rampung advokasi terhadap masyarakat, bencana lain sudah menyusul. Itulah banjir sungai Citarum.

Luapan sungai citarum menggenangi beberapa kecamatan dan desa di Dayeuh Kolot. Segera saja hal ini menjadi semacam panggilan baginya untuk terjun melakukan evakuasi dan mitigasi. tanpa berpikir panjang, Wa Cecep bersama elemen masyarakat sipil yang tadinya mengadvokasi korban gempa membentuk sebuah badan baru. Itulah Baraya Bandung. Fokus  Baraya Bandung adalah melakukan evakuasi dan mitigasi korban Banjir.

Disinilah tuhan seakan memberikan garis tangan yang baru kepadanya.Tepatnya sebuah kebahagiaan. Di Leuwi Bandung, salah satu desa yang terkena luapan Banjir tersebut Wa Cecep bertemu dengan salah seorang perempuan. Nurhasanah namanya. Perempuan manis itu telah membuat Wa Cecep harus kembali jatuh cinta.” Saya menyukai dia karena memang dia baik. Dia selalu senantiasa membantu para relawan yang melakukan evakuasi dan mitigasi korban banjir, saya lihat ia sangat tulus dalam membantu para relawan” begitu ungkap Wa Cecep mengenai alasan dia menikahi Nurhasanah.

Bak gayung bersambut, orang tua Nur,panggilan untuk Nurhasanah menyambut baik hubungan itu. Tanpa berpikir panjang tanggal akad tikah segera dipilih. Pernikahan antara Nur dan Wa Cecep tidak seperti pernikahan biasanya. Tidak ada pesta, tidak ada sound system, tidak ada dinding yang dihias apalagi berbagai macam kue dan pengganan lainya. Acara pernikahan akan dilaksanakan dengan sangat sederhana. “ yang paling penting bagi saya adalah semua syarat dan rukun nika terpenuhi saja” begitu kata-kata terucapa dari mulut Wa Cecep dengan mimik muka yang kalem.

Dan malam itu, akah nikah keduanya berlangsung dengan  sederhana. Dengan dihiasi oleh genangan Lumpur dan air yang mengelilingi rumah akad tikah berlangsung hidmat. Tanpa basa-basi yang panjang pencatat pernikahan menjadikan malam itu menjadi lebih sempurna, semakin sacral. Pada satu titik tertentu ternyata banjir telah memberikan berkah, seperti yang dialami oleh Wa Cecep tersebut.

“ walaupun sudah menikah saya tidak akan berhenti mendorong pemerintah kabupaten Bandung untuk segera mengambil tindakan untuk mengatasi banjir sungai Citarum, perjalanan belum usai kawan” begitu bisik Wa Cecep kepada penulis sesaat setelah prosesi akad nikah dilakukan. Penulis segera mengamini pendapat itu. Perjalanan memang akan selalau panjang, dan seperti kata Chairik Anwar “ kerja belum apa-apa kawan” dan perjalanan panjang itu tampaknya masih panjang membentang. (ang)     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar