Senin, 20 Desember 2010

Komunikasi Tanpa Ruh

Komunikasi Tanpa Ruh
Oleh Aang Kusmawan

Ketika akan mengajar beberapa waktu lalu, telepon genggam penulis bergetar. Rupa-rupanya ada pesan pendek masuk. Ketika dibuka ternyata pesan pendek itu berasal dari salah seorang murid di kelas yang hendak penulis ajar. Isinya juga cukup pendek, murid tersebut berpesan bahwa dirinya tidak bisa masuk pada hari itu. Alasannya karena dia sakit.

Ketika hendak melanjutkan mengajar di kelas lain, telepon penulis kembali bergetar. Rupanya ada pesan pendek yang kembali masuk. Isinya tidak jauh beda dengan pesan pendek sebelumnya. Siswa tersebut minta ijin tidak masuk karena ada kepentingan keluarga.Sesaat, penulis tidak terlalu menghiraukan pesan pendek tersebut. Penulis menganggap hal itu sebagai sebuah hal yang biasa.

Akan tetapi pertanyaan kritis mulai muncul tatkala menjelang hari raya idul fitri. Satu hari menjelang hari lebaran, kotak masuk telepon penulis kebanjiran pesan pendek dari banyak kolega.

Secara umum isi dari pesan pendek itu semuanya sama, mengucapkan minal aidzin walfaidzin dan memohon maaf lahir batin. Akan tetapi secara khusus ternyata ucapan tersebut di kirim dalam bentuk yang berbeda-beda.

Misalnya, ada murid penulis yang masih duduk di kelas sepuluh Madrasah Aliyah (MA), murid tersebut mengirim pesan dengan menggunakan bahasa inggris yang menurut penulis struktur katanya cukup baik. Pada awalnya penulis merasa senang mendapatkan ucapan tersebut, akan tetapi ketika ditelisik lebih dalam penulis merasakan sebuah keraguan. Apakah betul murid penulis mengerti dengan menyeluruh mengenai isi dari pesan singkat tersebut? Sejujurnya, tanpa bermaksud merendahkan, penulis meragukan itu semua.

Contoh lain, berasal dari teman guru penulis. Kebetulan guru tersebut mengajar bahasa inggris. Isi pesan pendeknya menggunakan bahasa sunda yang menurut saya sangat halus, runut dan sarat dengan metafora yang sulit diterjemahkan perkata. Membaca pesan pendek tersebut, penulis merasa kagum sekaligus ragu mengenai kemampuan teman saya tersebut.

Namun kemudian keraguan penulis akhirnya sedikit terjawab ketika kemudian teman saya tersebut mengklarifikasi kepada penulis ternyata pesan pendek berbahasa sunda yang dikirimkannya tersebut adalah jiplakan pesan pendek dari temanna, dan lebih parahnya lagi dia tidak memahami isi pesan pendek tersebut.

Dari rentetan pesan pendek dalam runutan waktu tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang menarik didiskusikan. Pertama, proses komunikasi yang dibangun. Kedua adalah kedalaman arti dari pesan yang dbuat. Serta ketiga adalah unsur kejujuran.
Dalam proses komunikasi yang dijalankan, mengacu pada peristiwa yang saya alami sebenanrnya ada sebuah proses komunikasi yang berjalan dengan begitu cepat. Perpindahan pesan dari orang yang satu kepada orang lain berpindah tanpa hambatan yang berarti. Dalam konteks proses komunikasi ini, kesenjangan informasi sejatinya sedang dalam perjalan menjadi sebuah mitos saja.

Namun dilain sisi, hal positif itu ternyata diiringi oleh hal negatif. Cepatnya perpindahan pesan dalam jejaring dan relasi sosial di masyarakat secara tidak sadar telah membawa masyarakat kedalam sebuah kondisi dimana kedalaman dari sebuah pesaan perlahan terpinggirkan. Jelasnya kedalaman pesan yang dibuat dan disampaikan tidak lagi menjadi utama.

Cara-cara mengirim pesan dengan menjiplak pesan dari orang lain kemudian menyebarkan pesan tersebut kepada orang lain merupakan contoh nyata dari pengikisan makna dari setiap pesan yang dikirimkan. Dengan melakukan penjiplakan maka sebenarnya seorang tersebut tidak lagi menggunakan akal pikiran serta hatinya dalam proses pembuatan sebuah pesan.

Padahal pekerjaan membuat pesan sejatinya adalah pekerjaan untuk menjalin sebuah komunikasi yang tidak hanya sekedar bertukar kata atau hanya bersilat lidah saja. Lebih jauhnya lagi pekerjaan membuat pesan adalah sebuah usaha dalam menghormati dan memaksimalkan kerja-kerja otak. Atau jika ditarik kewilayah teologis, maka membuat pesan sebenarnya adalah sebuah tindakan sukur atas karunia yang telah diberikan oleh Tuhan. Atau jika ditarik kewilayah seni, maka membuat pesan adalah sebuah seni yang mengutamakan proses yang ulet serta keindahan.

Terakhir adalah unsur kejujuran. Sampai dengan sekarang penulis tidak pernah bisa membantah atau sebaliknya menerima pesan pendek yang disampaikan oleh murid-murid terutama jika mereka meminta ijin untuk tidak hadir dan sebagainya. Terlalu sulit rasanya untuk membuktikan itu.

Kejujuran berkomunikasi di tengah kondisi masyarakat yang kedalaman berkomunikasi sedang terkikis secara perlahan merupakan hal yang teramat sulit. Dalam konteks seperti itu, kejujuran tidak lagi diposisikan paling depan. Kejujuran dalam konteks tersebut berada di deretan yang paling belakang. Atau jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka kejujuran dalam berkomunikasi mungkin hanya akan menjadi sekedar mitos belaka.

Melihat pada fakta tersebut, tak salah kiranya jika kita menyimpulkan bahwa sedang terjadi pergeseran yang signfikan dalam dinamika komunikasi yang dibangun dimasyarakat. Pertanyaan pentingnya adalah kearah manakah pergeseran yang sekarang sedang terjadi? Ke arah yang lebih buruk atau sebaliknya ke arah yang lebih baik? Melihat pada fakta empiris yang penulis alami, sejujurnya penulis menyebut bahwa dinamika komunikasi secara mendasar bergeser ke arah yang buruk. Penulis menyebutnya sebagai komunikasi tanpa ruh. Bagaimana dengan anda?

Setelah Pendidikan Gratis

Setelah Pendidikan Gratis
Oleh Aang Kusmawan

Dengan digratiskannya biaya pendidikan  untuk tingkatan dasar dan menengah pertama, maka diatas kertas aksestabilitas  masyarakat dalam mengenyam pendidikan semakin meningkat. Akan tetapi  hal tersebut belum bisa digadangkan sebagai faktor penentu keberhasilan. Masih ada faktor lain yang masih harus di selesaikan secara  matang

Paradoks
Secara konstitusional penggratisan biaya pendidikan ini sebenarnya merupakan pengjawantahan dari tanggung jawab Negara dalam menjamin pendidikan bagi setiap warganya. Berawal dari sana muncul “paksaaan” bagi Negara untuk melaksanakanya tanpa kecuali. Sehingga dari  kondisi tersebut Negara harus melaksanakanya, jika tidak mau dikatakan abai terhadap rakyatnya. Tentu saja pengambilan kebijakan ini akan menimbulkan efek domino yang serius.

Salah satu contohnya adalah terjadinya realokasi anggaran pada setiap level pemerintahan. Realokasi anggaran, khususnya penambahan anggaran pendidikan merupakan hal yang sulit. Hal ini menjadi sulit karena disatu sisi sector-sektor yang lain, katakanlah itu sector ekonomi rakyat, kesehatan juga memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Sementara di saat yang bersamaan kemampuan anggaran pemerintah juga terbatas.

Pada prakteknya hal ini akan sangat mungkin menyebabkan ketimpangan dimasyarakat. Sebagai ilustrasi sederhana, misalnya jika anggaran untuk sektor pendidikan bertambah dengan signifikan sementara anggaran untuk sektor yang lain, katakanlah sektor ekonomi rakyat hanya bertambah sedikit, maka bisa dipastikan bahwa diatas kertas  pengembangan ekonomi masyarakat akan cenderung stagnan. Dan sektor pendidikan akan mengalami kemajuan yang signifikan.

Dalam konteks jangka pendek kondisi ini memang tidak akan terlalu terasa, akan tetapi dalam jangka panjang hal ini akan sangat terasa.  Jika dalam waktu yang bersamaan angka partispasi pendidikan terus menerus mengalami peningkatan dengan signifikan, sementara angka pertumbuhan ekonomi bergerak lamban, maka bisa dipastikan sektor pendidikan akan sedemikian maju sementara sektor ekonomi akan cenderung stagnan.

Oleh karena itu, dalam konteks jangka panjang kebijakan sekolah gratis ini merupakan sebuah kebijakan yang sebenarnya mempunyai resiko yang tidak kecil. Seandainya kebijakan ini tidak kemudian diimbangi dengan kebijakan lain, misalnya kebijakan peningkatan kegiatan perekonomian masyarakat, maka besar kemungkinan kebijakan sekolah gratis ini akan menjadi sebuah kebijakan paradoks.

Kebijakan peningkatan aksestabilitas pendidikan tanpa diimbangi dengan kemajuan ekonomi sejatinya tidak akan membawa dampak yang signifikan terhadap kemajuan masyarakat. Tentu saja hal ini tidak baik bagi masyarakat.

Penyakit lama

Secara historis kebijakan sekolah gratis ini muncul di tengah kondisi pendidikan dalam kondisi yang tidak terlalu baik. Kondisi yang tidak terlalu baik itu diantara budaya korupsi yang belum bisa diatasi dengan maksimal serta budaya penggunaan anggaran yang tidak efektif dan efisien.

Budaya korupsi dan penggunaan anggaran yang tidak epektif dan efisien dalam dunia pendidikan merupakan penyakit lama yang sampai dengan sekarang belum ditemukan obat mujarabnya. Sehingga dalam konteks pelaksanaan pendidikan gratis hal ini merupakan penyakit serius bagi pelaksanaan pendidikan gratis.

Dalam konteks pelaksanaan pendidikan gratis, peluang korupsi di dunia pendidikan menjadi semakin besar dan terbuka. Gelontoran uang yang bertambah besar menjadi sasaran empuk para koruptor di dunia pendidikan. Seakan-akan hal ini menjadi pemicu utama merebaknya korupsi didunia pendidikan.

Indikasi kearah hal ini secara sederhana bisa terlihat dari hasil survei indeks korupsi yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang terbaru, yang mengatakan bahwa indeks korupsi negara kita tidak mengalami pergerakan yang signfikan. Korupsi masih menjadi benalu yang sulit hilang. Sektor pendidikan tidak terkecuali.

Selain melihat hasil survei tersebut, jika kita melihat pada dinamika penyelesaian korupsi, khsususnya kasus yang menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penulis memandang bahwa kedepan budaya korupsi di Indonesia termasuk sektor pendidikan masih akan berkembang dengan subur. Upaya ”pelemahan” terhadap lembaga pemberantasan korupsi secara tidaklangsung akan mendorong suburnya korupsi di dunia pendidikan.

Selain budaya korupsi, budaya penggunaan alokasi anggaran yang tidak efektif dan efisien merupakan budaya lama yang tampaknya masih akan belum hilang dari dunia pendidikan. Jika diperhatikan secara mendetail, tidak efektif dan tidak efisienya ini terlihat pada prioritas program yang dibuat.

Dalam konteks peningkatan aksestabilitas pendidikan, sejatinya peningkatan anggaran pendidikan tersebut mayoritasnya harus dialokasikan untuk biaya penyelenggaran pendidikan tanpa kecuali.

Dalam konteks seperti ini sebenarnya, proses penentuan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) menjadi hal penting. Kedudukan RAPBS menjadi hal sentral dalam menentukan prioritas dalam alokasi anggaran.Semakin berkualitas proses penyusunan RAPBS maka sejatinya penyakit lama berupa inefisiensi serta inepektifitas alokasi anggaran bisa diatasi.

Akan tetapi seperti kita ketahui bahwa dalam proses penyusunan RAPBS tersebut, masyarakat dan pihak sekolah masih terbata-bata dalam melaksananya. Sudah menjadi rahasia umum apabila penyusunan RAPBS ini didominasi oleh kepala sekolah saja tanpa mengajak pihak masyarakat untuk terlibat secara serius.

Berdasarkan hal tersebut, maka sejatinya pemerintah belum boleh membusungkan diri atas keberhasilannya dalam menggratiskan biaya pendidikan. Di luar gelontoran dana yang begitu besar, masih banyak masalah lain yang harus diselesaikan dengan matang. Ini bukan sebuah pilihan tapi sebuah keharusan yang tampaknya tidak bisa di tunda-tunda.

Kamis, 16 September 2010

"Menyoal sistem kredit semester di sekolah"

Menyoal Sistem Kredit Semester (SKS) Di Sekolah
Oleh Aang Kusmawan
 
Rencana pemerintah untuk menerapkan sistem kredit semester di sekolah seperti yang diberitakan oleh harian ini (KOMPAS, 24 Agustus 2010) akan sulit mendongkrak mutu pendidikan sekolah. Pasalnya, rencana ini ternyata tidak menawarkan konsep yang komprehensif. Sistem kredit semester yang diajukan tidak menawarkan konsep kelulusan yang berbeda dengan sebelumnya. Ujian Nasional (UN) masih menjadi salah satu syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan!
 
Tiga konsep
 
Mengacu pada dokumen panduan penyelenggaran sistem kredit semester bagi sekolah yang di keluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tahun 2010, ada tiga hal penting yang menjadi titik perhatian : Pertama, perencanaan. Kedua, pelaksanaan. Ketiga, kelulusan.
 
Dalam hal perencanaan, konsep yang dibangun adalah konsep kemandirian. Jika dalam konsep yang biasa diterapkan, sekolah dan guru mempunyai peranan yang dominan, maka dalam konsep ini hal sebaliknya terjadi. Dengan konsep ini siswa bebas menentukan mata pelajaran apa saja yang disesuaikan dengan minat dan bakat siswa itu sendiri.
 
Dari konsep perencanaan tersebut, ada dua hal positif yang bisa diambil. Pertama, relasi antara siswa dengan guru menjadi lebih demokratis. Dengan konsep tersebut memungkinkan adanya ruang dialogis antara siswa dengan guru dalam perencanaan pembelajaran. Hal ini menjadi input positif bagi perkembangan kehidupan demokrasi di sekolah yang tentunya akan berpengaruh positif terhadap atmosfer belajar siswa. Besar kemungkinan dengan atomosfer belajar yang demokratis, siswa akan belajar dengan semangat yang besar.
 
Kedua, adalah atmosfer persaingan antara siswa di sekolah. Dengan konsep perencanaan yang mandiri, setiap siswa akan terpacu untuk berkompetisi dengan siswa lain. Pada prosesnya kompetisi antar siswa ini akan memaksa setiap siswa untuk menjalankan strategi yang tepat dalam memenangkan persaingan tersebut. Efek positifnya, siswa akan terbiasa dengan atmosfer kompetisi sejak awal. Dengan hal ini, ketika siswa keluar dari lingkungan sekolah dia sudah siap berkompetisi dengan kehidupan yang lebih luas.
 
Sedangkan dalam konsep pelaksanaan, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pelaksanan pembelajaran di sekolah seperti biasanya. Hanya saja proses pembelajaran dengan konsep ini dibagai kedalam tiga bagian yang sangat jelas. Bagian pertama adalah berupa pembelajaran tatap muka dengan guru. Waktu yang digunakan untuk pembelajaran tatap muka ini maksimum empat puluh lima menit.
 
Bagian kedua adalah penugasan terstruktur. Di bagian kedua ini, siswa akan  mendalami pembelajaran sendiri dengan panduan yang terlebih dahulu disusun oleh guru. Waktu maksimum dari tugas terstruktur ini ditentukan oleh peserta didik. Sedangkan bagian ketiga adalah tugas mandiri tidak tersktuktur, dalam konsep ini siswa akan memperdalam pembelajaran secara mandiri dengan tidak menggunakan panduan dari guru dan waktu yang tidak ditentukan oleh guru.
 
Setengah hati
 
Dalam konsep kelulusan, BSNP mencantumkan empat syarat. Pertama, menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Kedua, lulus untuk semua mata pelajaran yang ditawarkan. Ketiga, lulus ujian madrasah, keempat lulus ujian nasional
 
Secara lebih dalam kita bisa melihat bahwa konsep ini sebenarnya tidak jauh beda dengan konsep yang selama ini dijalankan. Ujian Nasional dan Ujian Madrasah masih menjadi syarat mutlak kelulusan. Hemat penulis, konsep ini secara mendasar telah menyebabkan pengukuran mutu pendidikan Indonesia menjadi bias.
 
Secara praktis, pembiasan ini terjadi karena dua hal. Pertama,  adanya penyeragaman kriteria kelulusan untuk semua satuan pendidikan. Kedua, bertolak belakang dengan perencanaan dan pelaksanaan sistem kredit semester yang dijalankan oleh siswa.
 
Bagi satuan pendidikan di Indonesia, penyeragaman kriteria kelulusan merupakan hal yang harus dihindari. Alasannya, sampai hari ini ketimpangan-ketimpangan masih terjadi di daerah-daerah. Contoh nyata ketimpangan tersebut adalah ketimpangan fasilitas pendidikan dan ketimpangan tenaga pendidik. Hari ini harus kita akui bahwa perbedaan fasilitas pendidikan antara kota dengan desa begitu jomplang. Perkembangan fasilitas pendidikan di kota melaju kencang, sedangkan di desa kemajuan fasilitas pendidikan tidak lebih dari sekedar ilusi yang entah kapan terwujud.
 
Dalam dunia pendidikan, ketimpangan ini pada akhirnya akan menyebabkan proses pembelajaran antara desa dan kota menjadi timpang. Sekolah yang berada di kota dengan sekolah yang berada di desa akan mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Sekolah di kota akan mempunyai kualitas yang lebih baik.
 
Indikasi penguat hal ini bisa kita lihat pada hasil kelulusan Ujian Nasional (UN) yang sudah lewat. Sekolah-sekolah di desa mempunyai angka ketidaklulusan yang lebih tinggi dibanding sekolah yang ada di kota. Pada akhirnya penyeragaman syarat kelulusan ini hanya akan semakin memperkeruh kondisi pendidikan Indonesia.
 
Sementara itu dalam kaitanya dengan sistem kredit semester yang diterapkan, maka sejatinya menjadikan UN sebagai salah satu syarat kelulusan mutlak adalah hal yang bertolak belakang.
 
Seperti disebutkan diatas bahwa dalam proses perencanaan sistem sistem kredit semester, potensi serta minat dan bakat merupakan latar belakang utama pelaksanaan sistem ini. Setelah siswa memahami potensi yang dimilikinya maka kemudian siswa memilih mata pelajaran yang sesuai. Dari hal tersebut tentunya kita mendapatkan sebuah gambaran bahwasanyya potensi, minat dan bakat merupakan hal yang utama. Hal inilah yang kemudian akan dikembangkan oleh siswa disekolah dengan menerapkan sistem kredit semester.
 
Berdasar hal tersebut, maka sejatinya evaluasi dan penilaian yang dilakukan tidaklah bisa disamakan antara satu siswa dengan siswa yang lain, karena memang potensi satu siswa dengan siswa yang lain pasti berbeda. Ketika sistem evaluasi seperti Ujian Nasional di jalankan, maka menurut hemat penulis justru akan mementahkan langkah yang sedari awal sudah dibangun.
 
Sejatinya, tujuan pendidikan adalah usaha sadar untuk merubah peserta didik yang tentunya disesuaikan dengan minat, bakat serta potensi yang dipunyainya. Berdasar itu,  sehebat apapaun konsep yang dibuat tidak akan memberikan hasil yang signifikan jika tidak mengedepan potensi, minat serta bakat siswa yang tentunya sangat beragam. Termasuk penerapan sistem kredit semester sekalipun!

Jumat, 03 September 2010

sajaksasajak Wiji Thukul

Wiji Thukul sebenarnya belum meninggal seperti yang banyak diceritakan. Saya yakin dia masih ada di dunia ini. tentu saja dengan semua semangat membara dan revolusionedari sajaksajakanya.

sajaksajak Thukul di bawah ini saya copy dari blog temen. semoga bermanfaat!

Sajak Suara
Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
Mulut bisa dibungkam
Namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
Dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku?!
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
Di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu: pemberontakan!
Sesungguhnya suara itu bukan perampok
Yang ingin merayah hartamu
Ia ingin bicara
Mengapa kau kokang senjata
Dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?!
Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
Ialah yang mengajari aku bertanya
Dan pada akhirnya tidak bisa tidak
Engkau harus menjawabnya
Apabila engkau tetap bertahan
Aku akan memburumu seperti kutukan!

Rabu, 01 September 2010

"Mengakrabi kedamaian gunung wayang"

Mengakrabi Kedamaian Gunung Wayang

Oleh Aang Kusmawan


Jika Anda merasa penat dengan kebisingan dan kesemrawutan kota, puncak gunung merupakan obat yang tepat untuk mengatasinya. Cobalah nikmati setiap embusan anginnya, cobalah lihat lereng-lereng gunung yang terhampar seperti permadani berwarna hijau, cobalah dinginnya kabut gunung yang turun perlahan, niscaya perlahan rasa penat itu akan perlahan tergantikan oleh perasaan damai dan lega. Puncak Gunung Wayang bisa menjadi salah satu dari tempat yang dimaksud tersebut.

Secara administratif Gunung Wayang berada di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Jika menggunakan kendaraan pribadi tempat ini bisa ditempuh selama kurang lebih selama empat jam dari pusat Kota Bandung, sedangkan dengan kendaraan umum bisa jadi jarak tempuhnya menjadi empat jam. Posisi Gunung Wayang diapit oleh beberapa gunung. Di sebelah selatan berbatasan dengan Gunung Malabar, sebelah barat berbatasan dengan perbukitan Arjasari, sebelah timur berbatasan dengan Gunung Papandayan dan sebelah utara berbatasan dengan wilayah Majalaya.
Sampai di Kaki Gunung Wayang, terlihat kebun teh menghampar luas. Sangat menyegarkan. Namun sayang di beberapa sudut, terutama yang berdekatan dengan tempat tinggal penduduk, pohon-pohon teh sudah diganti dengan tanaman kentang dan wortel yang merupakan tanaman komoditas masyarakat Kertasari. Sejenak pemandangan tersebut mengajak memori penulis untuk mengingat kembali cerita-cerita novel sunda berlatar perkebunan teh yang indah, tetapi selalu dibenturkan dengan nasib pegawai perkebunan yang tidak pernah beranjak mapan. Dan realita yang ada di novel itu betul-betul dirasakan oleh penulis ketika itu.

ketika banjir membawa berkah

Ketika Banjir Membawa Berkah

Oleh Aang Kusmawan



Halaman rumah berdinding tembok itu terlihat becek. Disisi kanan rumah tersebut terlihat air masih menggenang. Begitu juga di sisi kiri, sisa-sisa lumpur sungai masih terlihat berceceran. Di atas tanah becek itu beberapa kursi di susun satu baris. Suasana cukup sunyi.  Itulah kondisi rumah bapak Dayat (55), salah satu penduduk di desa Leuwi Bandung kecamatan Dayeuh kolot yang rumahnya terkena luapan banjir dari sungai Citarum.

Siapa nyana, di rumah tersebut malam itu akan dilangsungkan sebuah acara sakral, yaitu pernikahan antara Cecep Yusup Maulana (42) dengan Nurhasanah (27), putrii pertama dari bapak Dayat.

Wa Cecep, begitu orang-orang disekelilingnnya memanggil, adalah kordinator Baraya Bandung, sebuah paguyuban yang berkonsentrasi pada kebencanaan. “ untuk saat ini fokus program Baraya Bandung lebih terkonsentrasi pada wilayah evakuasi korban banjir serta advokasi korban banjir Citarum kabupaten Bandung. Untuk kedepanya kami akan bergerak lebih dari itu, tapi tetap akan terfokus pada wilayah kebencanaan” begitu ungkap Wa Cecep ketika ditanya mengenai fokus program Baraya Bandung.

"Total footbal"



Total Footbal!
Oleh Aang Kusmawan


Kursi-kursi  plastik yang jumlahnya kurang lebih sepuluh itu di tata setengah lingkaran. Didepannya di simpan sebuah meja yang dilengkapi dengan kursi yang juga dari plastik. Hari itu, tanggal 12 Maret, pukul 14:00 dewan guru Madrasah Aliyah (MA) Sukasari Kabupaten Bandung akan mengadakan rapat persiapan menghadapi UN.

Penyelenggaraan UN itu sendiri akan berlangsung dari tanggal 22-28 Maret 2010. Hal ini berarti kurang dari sepuluh hari lagi UN akan diselenggarakan. Idealnya sepuluh hari menjelang pelaksanaan UN seharusnya sudah tidak ada lagi kegiatan selain menyiapkan peserta didik secara fisik dan mental. Bahkan jika berkaca pada sekolah-sekolah lain, khususnya di perkotaan, minggu-minggu terakhir menjelang UN adalah masa tenang di mana aktivitas pembelajaran sudah ditiadakan. Kalaupun ada kegiatan, paling kegiatan tersebut adalah bimbingan mental peserta didik berupa doa bersama dan motivasi diri.