Senin, 20 Desember 2010

Komunikasi Tanpa Ruh

Komunikasi Tanpa Ruh
Oleh Aang Kusmawan

Ketika akan mengajar beberapa waktu lalu, telepon genggam penulis bergetar. Rupa-rupanya ada pesan pendek masuk. Ketika dibuka ternyata pesan pendek itu berasal dari salah seorang murid di kelas yang hendak penulis ajar. Isinya juga cukup pendek, murid tersebut berpesan bahwa dirinya tidak bisa masuk pada hari itu. Alasannya karena dia sakit.

Ketika hendak melanjutkan mengajar di kelas lain, telepon penulis kembali bergetar. Rupanya ada pesan pendek yang kembali masuk. Isinya tidak jauh beda dengan pesan pendek sebelumnya. Siswa tersebut minta ijin tidak masuk karena ada kepentingan keluarga.Sesaat, penulis tidak terlalu menghiraukan pesan pendek tersebut. Penulis menganggap hal itu sebagai sebuah hal yang biasa.

Akan tetapi pertanyaan kritis mulai muncul tatkala menjelang hari raya idul fitri. Satu hari menjelang hari lebaran, kotak masuk telepon penulis kebanjiran pesan pendek dari banyak kolega.

Secara umum isi dari pesan pendek itu semuanya sama, mengucapkan minal aidzin walfaidzin dan memohon maaf lahir batin. Akan tetapi secara khusus ternyata ucapan tersebut di kirim dalam bentuk yang berbeda-beda.

Misalnya, ada murid penulis yang masih duduk di kelas sepuluh Madrasah Aliyah (MA), murid tersebut mengirim pesan dengan menggunakan bahasa inggris yang menurut penulis struktur katanya cukup baik. Pada awalnya penulis merasa senang mendapatkan ucapan tersebut, akan tetapi ketika ditelisik lebih dalam penulis merasakan sebuah keraguan. Apakah betul murid penulis mengerti dengan menyeluruh mengenai isi dari pesan singkat tersebut? Sejujurnya, tanpa bermaksud merendahkan, penulis meragukan itu semua.

Contoh lain, berasal dari teman guru penulis. Kebetulan guru tersebut mengajar bahasa inggris. Isi pesan pendeknya menggunakan bahasa sunda yang menurut saya sangat halus, runut dan sarat dengan metafora yang sulit diterjemahkan perkata. Membaca pesan pendek tersebut, penulis merasa kagum sekaligus ragu mengenai kemampuan teman saya tersebut.

Namun kemudian keraguan penulis akhirnya sedikit terjawab ketika kemudian teman saya tersebut mengklarifikasi kepada penulis ternyata pesan pendek berbahasa sunda yang dikirimkannya tersebut adalah jiplakan pesan pendek dari temanna, dan lebih parahnya lagi dia tidak memahami isi pesan pendek tersebut.

Dari rentetan pesan pendek dalam runutan waktu tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang menarik didiskusikan. Pertama, proses komunikasi yang dibangun. Kedua adalah kedalaman arti dari pesan yang dbuat. Serta ketiga adalah unsur kejujuran.
Dalam proses komunikasi yang dijalankan, mengacu pada peristiwa yang saya alami sebenanrnya ada sebuah proses komunikasi yang berjalan dengan begitu cepat. Perpindahan pesan dari orang yang satu kepada orang lain berpindah tanpa hambatan yang berarti. Dalam konteks proses komunikasi ini, kesenjangan informasi sejatinya sedang dalam perjalan menjadi sebuah mitos saja.

Namun dilain sisi, hal positif itu ternyata diiringi oleh hal negatif. Cepatnya perpindahan pesan dalam jejaring dan relasi sosial di masyarakat secara tidak sadar telah membawa masyarakat kedalam sebuah kondisi dimana kedalaman dari sebuah pesaan perlahan terpinggirkan. Jelasnya kedalaman pesan yang dibuat dan disampaikan tidak lagi menjadi utama.

Cara-cara mengirim pesan dengan menjiplak pesan dari orang lain kemudian menyebarkan pesan tersebut kepada orang lain merupakan contoh nyata dari pengikisan makna dari setiap pesan yang dikirimkan. Dengan melakukan penjiplakan maka sebenarnya seorang tersebut tidak lagi menggunakan akal pikiran serta hatinya dalam proses pembuatan sebuah pesan.

Padahal pekerjaan membuat pesan sejatinya adalah pekerjaan untuk menjalin sebuah komunikasi yang tidak hanya sekedar bertukar kata atau hanya bersilat lidah saja. Lebih jauhnya lagi pekerjaan membuat pesan adalah sebuah usaha dalam menghormati dan memaksimalkan kerja-kerja otak. Atau jika ditarik kewilayah teologis, maka membuat pesan sebenarnya adalah sebuah tindakan sukur atas karunia yang telah diberikan oleh Tuhan. Atau jika ditarik kewilayah seni, maka membuat pesan adalah sebuah seni yang mengutamakan proses yang ulet serta keindahan.

Terakhir adalah unsur kejujuran. Sampai dengan sekarang penulis tidak pernah bisa membantah atau sebaliknya menerima pesan pendek yang disampaikan oleh murid-murid terutama jika mereka meminta ijin untuk tidak hadir dan sebagainya. Terlalu sulit rasanya untuk membuktikan itu.

Kejujuran berkomunikasi di tengah kondisi masyarakat yang kedalaman berkomunikasi sedang terkikis secara perlahan merupakan hal yang teramat sulit. Dalam konteks seperti itu, kejujuran tidak lagi diposisikan paling depan. Kejujuran dalam konteks tersebut berada di deretan yang paling belakang. Atau jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka kejujuran dalam berkomunikasi mungkin hanya akan menjadi sekedar mitos belaka.

Melihat pada fakta tersebut, tak salah kiranya jika kita menyimpulkan bahwa sedang terjadi pergeseran yang signfikan dalam dinamika komunikasi yang dibangun dimasyarakat. Pertanyaan pentingnya adalah kearah manakah pergeseran yang sekarang sedang terjadi? Ke arah yang lebih buruk atau sebaliknya ke arah yang lebih baik? Melihat pada fakta empiris yang penulis alami, sejujurnya penulis menyebut bahwa dinamika komunikasi secara mendasar bergeser ke arah yang buruk. Penulis menyebutnya sebagai komunikasi tanpa ruh. Bagaimana dengan anda?

Setelah Pendidikan Gratis

Setelah Pendidikan Gratis
Oleh Aang Kusmawan

Dengan digratiskannya biaya pendidikan  untuk tingkatan dasar dan menengah pertama, maka diatas kertas aksestabilitas  masyarakat dalam mengenyam pendidikan semakin meningkat. Akan tetapi  hal tersebut belum bisa digadangkan sebagai faktor penentu keberhasilan. Masih ada faktor lain yang masih harus di selesaikan secara  matang

Paradoks
Secara konstitusional penggratisan biaya pendidikan ini sebenarnya merupakan pengjawantahan dari tanggung jawab Negara dalam menjamin pendidikan bagi setiap warganya. Berawal dari sana muncul “paksaaan” bagi Negara untuk melaksanakanya tanpa kecuali. Sehingga dari  kondisi tersebut Negara harus melaksanakanya, jika tidak mau dikatakan abai terhadap rakyatnya. Tentu saja pengambilan kebijakan ini akan menimbulkan efek domino yang serius.

Salah satu contohnya adalah terjadinya realokasi anggaran pada setiap level pemerintahan. Realokasi anggaran, khususnya penambahan anggaran pendidikan merupakan hal yang sulit. Hal ini menjadi sulit karena disatu sisi sector-sektor yang lain, katakanlah itu sector ekonomi rakyat, kesehatan juga memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Sementara di saat yang bersamaan kemampuan anggaran pemerintah juga terbatas.

Pada prakteknya hal ini akan sangat mungkin menyebabkan ketimpangan dimasyarakat. Sebagai ilustrasi sederhana, misalnya jika anggaran untuk sektor pendidikan bertambah dengan signifikan sementara anggaran untuk sektor yang lain, katakanlah sektor ekonomi rakyat hanya bertambah sedikit, maka bisa dipastikan bahwa diatas kertas  pengembangan ekonomi masyarakat akan cenderung stagnan. Dan sektor pendidikan akan mengalami kemajuan yang signifikan.

Dalam konteks jangka pendek kondisi ini memang tidak akan terlalu terasa, akan tetapi dalam jangka panjang hal ini akan sangat terasa.  Jika dalam waktu yang bersamaan angka partispasi pendidikan terus menerus mengalami peningkatan dengan signifikan, sementara angka pertumbuhan ekonomi bergerak lamban, maka bisa dipastikan sektor pendidikan akan sedemikian maju sementara sektor ekonomi akan cenderung stagnan.

Oleh karena itu, dalam konteks jangka panjang kebijakan sekolah gratis ini merupakan sebuah kebijakan yang sebenarnya mempunyai resiko yang tidak kecil. Seandainya kebijakan ini tidak kemudian diimbangi dengan kebijakan lain, misalnya kebijakan peningkatan kegiatan perekonomian masyarakat, maka besar kemungkinan kebijakan sekolah gratis ini akan menjadi sebuah kebijakan paradoks.

Kebijakan peningkatan aksestabilitas pendidikan tanpa diimbangi dengan kemajuan ekonomi sejatinya tidak akan membawa dampak yang signifikan terhadap kemajuan masyarakat. Tentu saja hal ini tidak baik bagi masyarakat.

Penyakit lama

Secara historis kebijakan sekolah gratis ini muncul di tengah kondisi pendidikan dalam kondisi yang tidak terlalu baik. Kondisi yang tidak terlalu baik itu diantara budaya korupsi yang belum bisa diatasi dengan maksimal serta budaya penggunaan anggaran yang tidak efektif dan efisien.

Budaya korupsi dan penggunaan anggaran yang tidak epektif dan efisien dalam dunia pendidikan merupakan penyakit lama yang sampai dengan sekarang belum ditemukan obat mujarabnya. Sehingga dalam konteks pelaksanaan pendidikan gratis hal ini merupakan penyakit serius bagi pelaksanaan pendidikan gratis.

Dalam konteks pelaksanaan pendidikan gratis, peluang korupsi di dunia pendidikan menjadi semakin besar dan terbuka. Gelontoran uang yang bertambah besar menjadi sasaran empuk para koruptor di dunia pendidikan. Seakan-akan hal ini menjadi pemicu utama merebaknya korupsi didunia pendidikan.

Indikasi kearah hal ini secara sederhana bisa terlihat dari hasil survei indeks korupsi yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang terbaru, yang mengatakan bahwa indeks korupsi negara kita tidak mengalami pergerakan yang signfikan. Korupsi masih menjadi benalu yang sulit hilang. Sektor pendidikan tidak terkecuali.

Selain melihat hasil survei tersebut, jika kita melihat pada dinamika penyelesaian korupsi, khsususnya kasus yang menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penulis memandang bahwa kedepan budaya korupsi di Indonesia termasuk sektor pendidikan masih akan berkembang dengan subur. Upaya ”pelemahan” terhadap lembaga pemberantasan korupsi secara tidaklangsung akan mendorong suburnya korupsi di dunia pendidikan.

Selain budaya korupsi, budaya penggunaan alokasi anggaran yang tidak efektif dan efisien merupakan budaya lama yang tampaknya masih akan belum hilang dari dunia pendidikan. Jika diperhatikan secara mendetail, tidak efektif dan tidak efisienya ini terlihat pada prioritas program yang dibuat.

Dalam konteks peningkatan aksestabilitas pendidikan, sejatinya peningkatan anggaran pendidikan tersebut mayoritasnya harus dialokasikan untuk biaya penyelenggaran pendidikan tanpa kecuali.

Dalam konteks seperti ini sebenarnya, proses penentuan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) menjadi hal penting. Kedudukan RAPBS menjadi hal sentral dalam menentukan prioritas dalam alokasi anggaran.Semakin berkualitas proses penyusunan RAPBS maka sejatinya penyakit lama berupa inefisiensi serta inepektifitas alokasi anggaran bisa diatasi.

Akan tetapi seperti kita ketahui bahwa dalam proses penyusunan RAPBS tersebut, masyarakat dan pihak sekolah masih terbata-bata dalam melaksananya. Sudah menjadi rahasia umum apabila penyusunan RAPBS ini didominasi oleh kepala sekolah saja tanpa mengajak pihak masyarakat untuk terlibat secara serius.

Berdasarkan hal tersebut, maka sejatinya pemerintah belum boleh membusungkan diri atas keberhasilannya dalam menggratiskan biaya pendidikan. Di luar gelontoran dana yang begitu besar, masih banyak masalah lain yang harus diselesaikan dengan matang. Ini bukan sebuah pilihan tapi sebuah keharusan yang tampaknya tidak bisa di tunda-tunda.